Di Pikiran Rakyat edisi 19 Januari 2008 (lembaran budaya KHAZANAH), saya melihat membaca dua puisi karya Baban Banita. Dibanding dengan karya dua penyair lain yang dimuat bersamaan, dua karya Baban Banita ini terasa lebih menarik. Terasa menarik? Ya, dua puisi ini jikalau tuntas dibaca akan membuat kita merenung. Merenungkan tema yang diusung didalamnya.
Puisi pertama berjudul ALMANAK (2005), berikut isinya:
ibu selalu melarangku
menyobek almanak
padahal ingin sekali
aku membuat topi pesta
dan perahu
bagi pacar manjaku
-bahkan almanak 10 tahun lampau
yang ada catatan burungku disunat 22 Desember-
ibu memang rajin
sejak aku lahir almanak
tersimpan rapi di lemari
kini ibu sudah pulang
berpisah waktu dan tak memerlukan almanak lagi
almanak-almanak itu kulebur jadi kertas daur ulang
dan kubuat almanak baru
di almanak baru ada catatan ibu yang tak mau hilang
yaitu saat burungku disunat 22 Desember
maka jadilah almanak baru itu
semua bergambar burungku
yang pucat meneteskan darah
di tangan ibu
Bisa dibayangkan betapa kesalnya sang ibu, apabila sang anak ingin merobek-robek almanak hanya untuk kesenangan sang anak (membuat topi, dan ingin diserahkan pada sang kekasih). Siapa tak akan kesal apabila sejarah keluarga kemudian dihancurkan hanya demi kesenangan sesaat. Sejarah keluarga kok disepelekan. Sejarah keluarga pentingnya artinya bagi seluruh keluarga, semua keturunan. Setelah sang ibu wafat, sang anak tetap berulah, almanak tersebut digambar dengan “burungku”.
TAK kalah menarik, puisi kedua bertarikh 2005, dengan judul DAUN YANG GUGUR:
“daun itu gugur karena dipukul angin,” ucapmu
“bukan. itu karena jarum waktu,” kilahku
dan sepanjang siang itu kita bertengkar kata
tentang daun yang kita jadikan perahu
dalam pelayaran menuju laut
kita tak pernah berebut tempat
hanya kadang-kadang kau memelukku
di setiap kelokan yang menganga ular
“hai, daun itu gugur karena kita ingin
menjadikannya perahu. lihatlah
dia begitu erat mengingatkan usia.”
lalu, sebelum sampai di laut luas
kita berpencar dihembus angin. melayang seperti daun
yang gugur. Kita belum sempat bertanya
kenapa kita gugur daun.
Waktu dan usia menjadi materi penciptaan puisi ini. Kamu dan aku berdebat persoalan kehidupan. Daun dalam puisi saya tangkap sebagai manusia yang menjalani kehidupan. Mati dan hidupnya manusia tergantung pada waktu. Dan untuk menjalani kehidupan kita terkadang menghadapi kebimbangan, perdebatan sekaligus solusi.
Ihwal sang penyair, dalam sejumput biodatanya, ia mengaku penyair amatir yang mengajar di Fakultas Sastra Unpad. Kelahiran Sumedang, 22 Desember 1969.
[note: silakan memberi tafsir yang berbeda. Saya lebih senang pada puisi pertama ketimbang puisi kedua. TTD ARAHMAN ALI]
1 komentar:
puisinya lantang...tanpa berbelit-belit..mudah di pahami siapa-siapa...
tapi alangkah baiknya jika sebuah puisi tak banyak tau artinya ...abstrak
semakin tak mengerti sebuha puisi makan dia semakin bagus...tapi setiap orang punya ciri has sendiri
Post a Comment