Muhidin M. Dahlan
JIKA sebelumnya book fair atau pesta buku hanya milik kota-kota besar seperti Jakarta, Jogjakarta, Bandung, dan Surabaya, maka saat ini nyaris setiap kota memiliki agenda mengadakan acara pesta buku. Itu berita baik, walau kerap disorot banyak pihak dengan lensa negatif: hanya memindahkan toko buku ke arena pameran.
Tapi kapan pameran buku pertama kali dilaksanakan? Mengikuti siklus kronik, pameran buku tahunan pertama kali digelar pada Juli 1958 di Jakarta. Saat itu namanya Gelanggang Buku dan diselenggarakan para pengusaha toko buku yang tergabung dalam Persatuan Toko Buku Indonesia (PTBI).
Gelanggang Buku I diikuti sekira 23 peserta, Gelanggang Buku II pada 1959 diikuti 16 peserta, Gelanggang Buku III pada 1960 diikuti 16 peserta, Gelanggang Buku IV pada 1961 diikuti 13 peserta, dan Gelanggang Buku V pada 1963 diikuti 23 peserta. Sementara pengunjung umumnya warga Jakarta atau kota-kota sekitarnya dari beragam golongan, seperti tokoh-tokoh partai politik, organisasi massa revolusioner, pejabat pemerintah sipil dan militer, sastrawan, sarjana, mahasiswa, pelajar, dan pengusaha.
Tapi, jangan bayangkan pada masa itu pameran buku adalah ajang tatap muka pembaca dan pengarang atau sekadar memindahkan toko buku ke arena pameran. Pameran buku bukanlah pesta (ajang jualan dan hiburan melepas penat). Pameran buku adalah politik. Stan-stan buku yang berdiri tak ubahnya arena adu poster ideologi. Barangkali karena itulah dinamakan Gelanggang Buku. Gelanggang biasanya merujuk pada arena pertandingan atau konfrontasi yang merujuk pada pameran kekuatan (ideologi). Dalam hal ini antara kebudayaan degenerasi borjuis dan kebudayaan rakyat, atau antara kebudayaan kapitalis dan kebudayaan sosialis.
Ada keyakinan bahwa tak ada buku dan penerbit yang netral. Segala jenis buku, sampai juga kepada buku bacaan anak dan buku pelajaran berhitung, ilmu bumi, dan sejarah untuk sekolah rakyat ataupun buku pengetahuan umum ’’biasa’’ memiliki sifat politik. Buku-buku itu bisa mendidik semangat revolusioner dan bisa menanamkan jiwa kontra-revolusioner dan/atau bisa membikin orang menjadi linglung di jalan ’’tengah’’.
Namun, terkadang penilaian tak selalu dari segi produk yang diterbitkan, melainkan juga dari besar kecilnya stan yang dibuka. Pada Gelanggang Buku II yang berakhir pada 11 Juli 1959, misalnya, Penerbit Jajasan Pembaruan milik PKI mengklaim bahwa merekalah satu dari tiga toko buku dengan stan terbesar dengan dekorasinya yang menarik.
Stan terbesar yang lain adalah Soeroengan dan Djambatan. Toko-toko buku seperti Gunung Agung, Pembangunan, Pembimbing, dan Indira menempati kedudukan kedua. Sedang Bulan Bintang (yang dekat dengan Masjumi) dan Pustaka Rakjat (yang dekat dengan PSI) memiliki stan terkecil.
Masing-masing penerbit memiliki produk andalannya masing-masing. Di Gelanggang Buku II tahun 1959, misalnya, penerbit Soeroengan mengandalkan tulisan Prof Soekanto, Hubungan Diponegoro-Sentot. Adapun penerbit Djambatan mengandalkan terbitan karya Ajib Rosidi, Tjerpen Indonesia, dan Slamet Muljana, Politik Bahasa Nasional. Jajasan Pembaruan tampil dengan produk andalannya --atau mereka menyebutnya ’’bom atom’’-- Pilihan Tulisan D.N. Aidit Jilid I yang tebalnya 540 halaman. Buku ini diterbitkan tepat pada saat Gelanggang Buku II dibuka.
Di arena Gelanggang Buku itu, Jajasan Pembaruan menjadi ’’pemasok tunggal’’ terjemahan-terjemahan karya klasik Karl Marx, Friederich Engels, dan Lenin. Selain itu, di stan Pembaruan juga muncul karya-karya sastra dari eksponen Lekra seperti Hr. Bandaharo: Dari Daerah Kehadiran Lapar dan Kasih , Zubir AA: Lagu Subuh, puisi terjemahan Iramani dan Agam Wispi: Ho Chi Minh Sadjak2; Bachtiar Siagian: Batu Merah Lembah Merapi. Tak ketinggalan, stan Jajasan Pembaruan juga dipenuhi delapan jenis majalah yang mereka terbitkan secara periodik.
Di luar itu, beronggok-onggok buku impor tergeletak yang ditampilkan toko-toko buku. Ada tiga penerbit besar yang getol mengeluarkan buku-buku impor ini: Pembimbing, Indira, dan Pembaruan. Dua yang pertama menjadi pemasok buku-buku Eropa Barat (khususnya Belanda) dan Amerika, sementara Pembaruan menjadi agen Eropa Timur dan negara-negara yang masuk dalam blok komunis.
Bertukar-palingnya Pembimbing dan Indira ke buku-buku Amerika disebabkan melemahnya pasar buku impor dari Belanda. Jenis buku impor itu macam-macam, seperti tentang politik, militer, ekonomi, di samping soal-soal merangkai bunga, mengatur kebun, membikin mebel, dan sebangsanya. Ada juga buku-buku kesusastraan dari pengarang yang sering disebut sayap pembaharu komunis Rusia, seperti Dostojevsky, Tolstoi, Anton Cekov, dan Gogol. Dan, di luar itu, adalah buku-buku ’’gang’’, ’’killer’’, ’’spy’’, dan buku-buku lainnya yang kerap dikategorikan pekerja-pekerja kebudayaan PKI dan aktivis Lekra sebagai buku-buku picisan.
Yang menarik adalah justru pada masa-masa Gelanggang Buku awal, Jajasan Pembaruan tak gentar dengan ’’stan-stan besar’’ dan juga pengimpor buku-buku asing seperti Pembimbing dan Indira. Bahkan mereka secara ksatria mengakui bahwa Balai Pustaka adalah penguasa di lini buku-buku terbaru yang umumnya buku-buku sekolah, baik untuk SR, SMP, SMA, hingga Sekolah Tinggi.
Yang dibombardir Jajasan Pembaruan justru penerbit-penerbit yang mereka sebut penerbit yang punya ’’stan-stan terkecil’’, yakni Bulan Bintang (Masjumi) dan Pustaka Rakjat (PSI).
Terhadap Bulan Bintang, misalnya, Pembaruan mempersoalkan mengapa di Bandung buku-buku M. Natsir seperti Capita Selecta I pada 1961 dan buku-buku Sjafruddin Prawiranegara masih saja diterbitkan. Atau mengapa masih saja dicetak ulang Ekonomi Umum I Soemitro di Jakarta pada 1962. Bagi Jajasan Pembaruan, terbitnya karya-karya pentolan Masjumi dan PSI yang bahkan setelah Manipol diberlakukan adalah semangat bangkitnya kekuatan kontra-revolusi.
Era pameran buku 1958-1965 adalah era di mana pameran buku menjadi laboratoria besar yang seakan menjadi mesin screening yang efektif bagi perang ideologi dalam perbukuan. Di sanalah ’’ditentukan’’ mana penerbit yang Manipolis dan mana yang anti-Manipolis.
Namun, semangat buku sebagai panglima politik berakhir setelah Pameran Buku Nasional 17 Agustus 1965 yang dikelola panitia tunggal, Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) yang merupakan OPS penerbitan di bawah Departemen Penerangan Republik Indonesia. Penyelenggaraan itu sendiri mendapatkan tentangan dari Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), dan Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi), Lembaga Kebudayaan & Seni Muslim Indonesia (Laksmi/PSII), Lembaga Kebudayaan Seni Islam (Leksi/Perti) karena dianggap tak mencerminkan komposisi unsur golongan dan politik dalam masyarakat pemerhati buku.
Alhasil, sejak ketuban republik pecah sebulan setelah pameran itu, boleh dibilang semangat politik dan revolusi dalam perbukuan berhenti tanpa kemenangan revolusi. (*)
* Muhidin M Dahlan, kerani di www.indonesiabuku.blogspot.com dan saat ini memimpin penulisan Kronik Indonesia dalam kurun seabad (1908-2008)
sumber: www.pontianakpost.com, 16 Maret 2008
0 komentar:
Post a Comment