Anggota Komisi III DPR RI/
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
Tertangkapnya kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini harus menjadi pintu masuk mengurai mafia migas. Tidak mungkin guru besar ITB itu berani terima uang suap jika tidak ada arahan atau perintah dari pejabat yang berpengaruh terkait suatu proyek dalam tata niaga lifpting migas.
Diduga uang tersebut bukan hanya untuk Rudi sendiri. Melainkan untuk kepentingan orang yang berpengaruh tadi. Barangkali hal inilah yang kemudian menjelaskan kepada kita mengapa KPK atas petunjuk Rudi kemudian menemukan 200 ribu dolar Amerika dilaci Sekjen Kementerian ESDM tersebut. Menteri Jero Wacik boleh saja membantah. Namun pengakuan Rudi patut didalami oleh KPK jika ingin menguak lebih dalam lagi jaringan mafia migas dari hulu hingga hilir yang selama ini menggerogoti potensi penerimaan negara hingga triliunan rupiah setiap tahun.
Mengecilkan target volume kemampuan produksi atau lifting dalam APBN padahal sesungguhnya sangat besar dan meninggikan nilai cost recovery, adalah salah satu modus yang paling mudah dibaca.
Yang terungkap dari kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) Rudi itu, baru dari satu perusahaan. Itupun tergolong perusahaan berskala kecil. Masih puluhan perusahaan migas Raksasa kelas dunia yang diduga melakukan praktik yang sama dengan omzet kejahatan triliunan rupiah setiap tahun.
Rumors lain yang tak kalau panas terkait kasus Rudi, adalah soal perusahaan Kernell Oil (KO) yang diduga melakukan suap. Berdasarkan informasi KO yang berkedudukan di Singapura dipimpin oleh seorang warga negara Singapura bernama Widodo itu sudah berbisnis sejak jaman SKK Migas masih bernama BP Migas yang dipimpin R. Prijono. Keterlibatan KO berbisnis minyak tidak lain karena peran pejabat tinggi kementerian ESDM ketika itu.
Seperti dalam cerita-cerita di film bertema 'business inteligent', pejabat ESDM tersebut sengaja menempatkan orangnya, untuk menjaga kepentingan KO di BP Migas hingga berubah menjadi SKK Migas.
KO terdaftar sebagai perusahaan trader di SKK Migas sejak jaman BP Migas. Atau sejak jaman R. Prijono sampai sekarang dijabat Rudi Rubiandini. Konon KO sangat aktif berbisnis dari hulu sampai hilir. Sampai-sampai dikalangan para pebisnis migas, KO dikenal sebagai kartel Migas.
Setelah R. Prijono selesai jabatannya dan digantikan Rudi, peran orang yang ditempatkan pejabat tinggi ESDM yang merangkap sebagai market intelligent tersebut tetap dilakukan untuk mengawal kepentingan KO. Saking intens-nya, sempat beredar isue Rudi menjalin hubungan asmara dengan orangnya pejabat tinggi ESDM tersebut.
Seperti diketahui, investigasi penyidik KPK berhasil menyadap pembicaraan telepon Rudi dengan orang kepercayaan pejabat tinggi ESDM tersebut yang mengantarkan para pihak akhirnya digelandang KPK dalam operasi tangkap tangan.
Perselingkuhan Kelas Dunia
PERSELINGKUHAN politik dan bisnis dalam industri Migas (minyak dan gas) sudah menjadi aturan main tak tertulis. Perselingkuhan itu biasanya berujung pada ‘kawin paksa’ pemburu rente dan pemburu kuasa. Ketika pemburu kuasa tunduk pada kehendak pemburu rente, Kepentingan negara dan rakyat pun harus dikorbankan.
Perselingkuhan atau hanky panky dalam industri dan bisnis Migas sudah menjadi rahasia umum yang universal. Tak perlu lagi ditutup-tutupi. Jika industi Migas tidak sarat perselingkuhan, mungkin tidak semua cadangan minyak fosil di perut bumi bisa dieksplorasi. Kecenderungan ini merupakan ekses dari ketidakseimbangan kekuatan karena terbentuknya blok negara kaya dan negara miskin, serta negara maju dan negara berkembang.
Orang-orang kaya dari negara maju datang ke negeri berkembang mencari ladang minyak. Tidak hanya uang, mereka juga membawa teknologi. Namun, menguasai sebuah ladang minyak yang luas bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan dukungan kekuatan politik untuk memuluskan proses penguasaan sebuah ladang minyak. Jelas bahwa tidak ada yang gratis. Tentu saja ada harga yang harus dibayar untuk mendapatkan dukungan dari kekuatan-kekuatan politik.
Terjadilah perselingkuhan itu. Biasanya dibungkus dengan kalimat-kalimat seperti ‘berhasil mendatangkan investor’ atau ‘investasi terus bertumbuh’ hingga kalimat ‘meningkatkan produksi minyak mentah’. Bahkan, kalau dianggap perlu, perselingkuhan itu diwujudkan dengan invasi militer atau perang.
Amerika Serikat (AS) dan sekutunya harus mencari alasan untuk berperang di Irak, serta memperkeruh krisis di Lybia untuk menguasai ladang minyak di kedua negara itu. Selain mengerahkan mesin perangnya, selama bertahun-tahun AS pun harus menyiagakan 150.000 pasukannya di Irak. Menurut peraih nobel ekonomi Joseph Stiglitz, AS harus mengeluarkan dana hampir 3 triliun dolar AS untuk membiayai perang di Irak.
Belakangan, dunia tahu bahwa perang itu bermotif minyak. Data dari Centre for Global Energy Studies (CGES) yang berbasis di London menyebutkan bahwa kandungan minyak di perut bumi Irak merupakan cadangan minyak kedua terbesar setelah Arab Saudi. Irak diperkirakan memiliki 112 miliar barel cadangan minyak, ekivalen 11 persen cadangan minyak dunia. Dan, menurut US Energy Information Administration, ada 73 ladang minyak mentah di Irak. Dari jumlah itu, baru 15 ladang yang telah dikembangkan sebelum AS menginvasi negeri itu.
Ketika perang itu sampai pada episode tentang perlunya mempertahankan kehadiran militer AS untuk menjaga stabilitas Irak, raksasa-raksasa bisnis perminyakan dari barat, seperti ExxonMobil, Chevron, BP dan Shell langsung berdatangan ke Irak. Tak ketinggalan untuk berbisnis di Irak adalah perusahaan jasa perminyakan Halliburton dari AS yang pernah dipimpin oleh Dick Cheney, mantan Wapres AS.
Di tengah nestapa rakyat Irak, perusahaan-perusahaan dari negara maju itu mulai menggali dan menimba minyak. Dijual untuk mengembalikan biaya perang, dan dimanfaatkan untuk menjaga kelangsungan semua sektor industri mereka. Sampai pada waktunya nanti, AS dan sekutunya akan berubah menjadi faktor yang bisa sangat dominan menentukan harga minyak dunia berkat penguasaan atas ladang minyak di Irak dan Libya.
Tanpa harus merancang perang, perselingkuhan itu pun dipraktikan di Indonesia. Warga Papua dan masyarakat Indonesia pada umumnya boleh saja menyuarakan aspirasi mengenai ketidakadilan akibat penambangan emas oleh Freeport- McMoRan Copper & Gold Inc. Namun, penggalian di Papua legal karena kehendak kekuatan-kekuatan politik di negara ini.
Selingkuh Cepu
Tahapan eksplorasi minyak di Blok Cepu harus melalui proses yang sangat berliku. Awalnya, izin eksplorasi di blok ini ada dalam genggaman Humpuss Patragras. Karena keterbatasan dana dan teknologi, Humpuss menjalin kerja sama dengan Ampolex dari Australia. Kehadiran Ampolex di Blok Cepu ternyata bukan jalan keluar, karena eksplorasi tidak dikerjakan.
Bahkan Ampolex pun diakuisisi oleh Mobil Oil. Karena proses akuisisi ini berlarut-larut, pengeboran dihentikan pada 1996. Masalah bertambah ketika Humpuss pun menjual sahamnya kepada Mobil Oil di tengah krisis ekonomi 1998. Akhirnya, ExxonMobil membeli hak eksplorasi Blok Cepu. Hasil pemetaan lapisan bawah permukaan oleh anak usaha ExxonMobil, yakni Mobil Cepu Ltd yang berstatus sebagai mitra Pertamina di blok ini, cukup mencengangkan. Sebab, kandungan minyak mentah di Blok Cepu ternyata mencapai 1,478 miliar barel, plus kandungan gas sebesar 8,14 miliar kaki kubik.
Mungkin karena kandungan yang demikian besar itu, Pertamina dan ExxonMobil terjebak dalam proses negosiasi yang alot dan berlarut-larut. Pertamina bersikukuh menjaga kepentingan nasional. Di tengah ketidakpastian itu, Departemen Luar Negeri AS mengagendakan kunjungan Menlu AS (saat itu) Condoleezza Rice ke Indonesia pada bulan Maret 2006. Sebelum pesawat yang ditumpangi Rice take off, Pemerintah Indonesia mengganti dewan direksi Pertamina. ExxonMobil pun menjadi operator utama dengan kontrak pengelolaan Blok Cepu selama 30 tahun. Porsi saham Pertamina dan ExxonMobil masing-masing 45 persen, sementara 10 persen lainnya diserahkan kepada kabupaten Bojonegoro dan Blora, serta Pemda Jawa Tengah dan Jawa Timur.
"Saya sudah mendengar apa yang terjadi antara Pertamina dan Exxon. Saya pikir itu terobosan yang baik. Saya yakin dalam masa depan ada terobosan besar lainnya," kata Menlu Rice ketika berpidato di depan Indonesia Council On Ward Affairs di Jakarta. Apa jadinya dengan Blok Cepu sekarang jika Menlu AS itu tidak datang ke Jakarta dan Direksi Pertamina saat itu tidak diganti?
Perselingkuhan di Blok Cepu adalah kesepakatan besar bernilai triliunan rupiah. Begitu juga kesepakatan untuk eksplorasi ladang minyak lainnya di berbagai daerah.
Maka, kalau nilai kesepakatan itu diperbandingkan dengan jumlah uang suap yang diduga diterima Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Rudi Rubiandini, nilanya memang terlalu kecil. Hanya senilai biaya entertaiment dua tiga hari di bisnis migas.
Sebab, dari pengurusan izin hingga keperluan pelesiran, mereka yang berada dalam komunitas bisnis Migas selalu berbicara tentang jumlah atau nilai uang yang besar. Untuk menghibur seorang oknum pejabat, perusahaan minyak tak segan-segan mengeluarkan dana sampai miliaran rupiah. Sudah menjadi rahasia umum harga tak resmi untuk mendapatkan perpanjangan ijin kontrak migas di Indonesia bisa mencapai angka 50 juta dolar AS.
Diyakini bahwa Rudi Rubiandini tidak sendiri. Itu sebabnya, KPK bisa menemukan uang 200.000 dolar AS di ruang Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM. Maka, kasus Rudi Rubiandini memang patut dijadikan pintu masuk bagi KPK untuk mengungkap perselingkuhan Bisnis – politik dalam industri Migas di Indonesia. Tentu saja penyelidikan harus diarahkan ke atas, karena perselingkuhan atau deal-nya memang dimulai dari atas.
Kalau mengacu pada aturan yang ada, maka Presiden dan Menteri ESDM tidak bisa lepas tangan. Perpres No.9 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi pasal 3 dan pasal 9 ayat (1): Ketua Komisi Pengawas Menteri ESDM dan Kepala SKK Migas bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
0 komentar:
Post a Comment