Seratus duapuluh delapan tahun lampau, pada 21 April, di Jepara lahir bayi perempuan bernama Kartini. Bayi yang kemudian selalu diingat sebagai pencetus emansipasi perempuan di Indonesia. Kartini, dan kemudian perempuan, selalu dikaitkan dengan tanggal 21 April. Memang, tanggal ini dijadikan sebagai tonggak emansipasi Perempuan di Indonesia. Kartini sendiri disebut sebagai tokoh emansipasi perempuan Indonesia. Terlepas dari sejumlah keraguan akan posisi Kartini dalam gerakan emansipasi perempuan, perlu kiranya kita menghargai ide-ide yang pernah dicetuskannya. Yang kita hargai bukan Kartini sebagai fisikal, namun Kartini sebagai suara perempuan yang berusaha memperjuangkan hak-haknya.
Riwayatnya sangat singkat: dia meninggal ketika berusia 25 tahun. Karena berasal dari keluarga priyayi, Kartini sempat mendapat pendidikan hingga usia 12 tahun. Sesuatu keberuntungan bagi perempuan masa itu. Dengan kemampuan bahasa Belanda-nya yang bagus, dia membaca kitab-kitab sastra dan majalah yang memuat wacana modernisme, feminisme dan kemerdekaan berpikir. Kartini memiliki beberapa sahabat pena, yakni JH Abendanon dan istrinya Rosa
Abendanon, Estella H Zeehandelaar, Dr N Adriani, suami-istri Van Kol, dan Ny Ovink Soer. Sejak tahun 1899 (saat Kartini berusia 20 tahun) dia sudah berkorenspondensi dengan mereka. Abendanon-lah yang kemudian menerbitkan Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis Tot Licht, 1911). Surat-surat Kartini berjumlah ratusan. Isinya tentang rasa senang, sedih dan harapan yang silih berganti mengginggapinya. Karena surat-surat inilah, gagasan Kartini beredar ke seantero dunia, terutama Indonesia dan Belanda.
Apa yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya yakni pendidikan bagi kaum perempuan, kesetaraan gender dalam pergaulan sosial, dan perilaku beragama yang baik. Isu yang kemudian masih diacung-acungkan hingga seabad kemudian, isu yang terus diperjuangkan hingga hari ini.
Paska Kartini kemudian muncul sejumlah organisasi yang memperjuangkan hak-hak perempuan di tengah masyarakat patriakal. Organisasi Poetri Mardika (1912) lahir sebagai organ Boedi Oetomo. Kemudian hadir Pawiyatan Wanito (1915), Percintaan Ibu Kepada Anak Temurun (PIKAT, 1917), Purborini (1917), Aisyiyah (1917), Wanito Soesilo (1918), Wanito Hadi (1919), Poteri Boedi Sedjati (1919), Wanito Oetomo dan Wanito Moeljo (1920), Serikat Kaoem Iboe Soematra (1920), Wanita Katolik (1924). Tokoh-tokoh perempuan juga hadir seiring dengan tumbuhnya organisasi tersebut.
Pada umumnya, tujuan organisasi tersebut memperjuangkan posisi perempuan dalam bidang sosial dan budaya, bermaksud memelihara nilai dalam lingkup keluarga dan masyarakat, serta berusaha mempertahankan ekspresi kebudayaan setempat dari serbuan kebudayaan asing yang membawa dampak negatif.
Pergerakan perempuan memasuki tahap lanjut, yakni dengan terselenggaranya Kongres Perempuan Indonesia ke I, pada 22 Desember 1928. Dari kongres ini muncul keputusan penting yaitu terbentuknya federasi organisasi perempuan dengan nama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). Federasi inilah yang kemudian memperjuangkan posisi perempuan dalam hukum perkawinan, pendidikan untuk kaum perempuan, kepedulian pada keluarga dan masyarakat, serta penolakan terhadap perkawinan di bawah umur.
Sedang dalam Kongres Perempuan II (1932) mulai muncul isu nasionalisme dan politik. Selain itu, masih ada “isu tradisional“semisal hak perempuan, kesehatan keluarga, dan kesehatan ibu. Pada Kongres Perempuan ke-3, hak suara perempuan pertama kali didengungkan. Kaum perempuan merasa keterlibatan dalam parlemen dan pemerintah sangat penting. Mengingat kebijakan dan aturan tentang perempuan di Indonesia dipengaruhi pula oleh dua lembaga ini. Hak keterwakilan perempuan mulai mengemuka dengan diusulkannya Maria Ulfa sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat). Meski gagal, namun keterwakilan perempuan terakmodasi ketika Maria Ulfa diangkat sebagai Menteri Sosial dalam Kabinet Sjahrir II (1946), dan kemudian S.K. Trimurti sebagai Menteri Perburuhan dalam Kabinet Amir Sjarifuddin 1947-1948). Tak berhenti sampai disitu, dalam pemilihan umum 1955, gerakan perempuan berhasil mendorong perempuan sebagai anggota parlemen. Tradisi perempuan di parlemen terus melekat hingga kini, dengan sedikit imbuhan kuota 30%.
Kartini Kini: Memperjuangkan Hak-hak Perempuan
Setiap masa, perempuan menghadapi dilema tersendiri. Pada zaman kolonial Belanda, isu utama yang didengungkan seputar kesempatan pendidikan dan kesejahteraan anak-ibu. Zaman kemerdekaan, kaum perempuan mulai memasukkan isu-isu kebangsaan dan hak suara dalam politik. Ketika Orde Baru berkuasa, perempuan diletakkan “sekadar” pendamping suami dan pemelihara kader bangsa. Lewat organisasi-organisasi resminya, PKK dan Dharma Wanita, perempuan didorong untuk menjadi penjaga rumah tangga. Pada masa Orde Baru lahir organisasi-organisasi perempuan yang independen dan otonom. Misalnya lahir Yasanti, Kalyanamitra, Solidaritas Perempuan, Rifka Annisa, Suara Ibu Peduli, serta Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, untuk menyebut beberapa wadah. Organisasi inilah yang memperjuangkan hak-hak perempuan di Indonesia.
Setahun kemarin, tepatnya 31 Agustus 2006, di Jakarta lahir Manifesto Temu Nasional Aktivis Perempuan Nasional. Pernyataan aktivis perempuan dari 28 provisinsi di Indonesia yang menuntut sebelas pasal, yakni menjamin perlindungan terhadap perempuan dan kelompok minoritas; kedua, membuat kebijakan berbasis gender; mengoptimalkan kebijakan yang mengutamakan gender dan menolak pembangunan yang berlandaskan hutang; keempat, menolak privatisasi sektor-sektor strategis; kelima, memberikan jaminan pemenuhan dan perlindungan terhadap hak warga, perempuan, masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam; keenam, mendorong alokasi anggaran yang sensitif gender; ketujuh, menuntut negara menjamin pemenuhan hak politik perempuan; kedelapan, menindak dengan tegas lembaga-lembaga yang mengatasnamakan agama untuk mengancurkan gerakan perempuan, merongrong ideologi bangsa, dan mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia; kesembilan, menjamin perempuan mendapat kesempatan memperoleh pendidikan gratis dan berkualitas, serta pelayanan kesehatan sensitif gender; kesepuluh, membangun sistem penanggulangan bencana alam dan konflik sosial, khususnya perempuan; dan yang terakhir, sesegera mungkin menuntaskan pelanggaran hak-hak asasi manusia dan hak perempuan di masa lalu.
Dari manifesto tersebut dapat dilacak pertumbuhan terkini pergerakan “Kartini” kini. Isu global, lokal dan nasional dikaitkan dengan nasib perempuan. Urusan perempuan tidak lagi sekadar anak, rumah dan dapur. Melainkan sudah memasuki ranah baru: kapitalisme global dan perdamaian. Temu Nasional Aktivis Perempuan Nasional ini diselenggarakan dengan tujuan agung, yakni untuk melakukan perubahan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan berdaulat. Para aktivis ini mengakui nilai-nilai penghormatan terhadap hak asasi perempuan, pluralisme, anti-diskriminasi, anti kekerasan, keadilan gender dan keadilan sosial.
Memang, pejuang hak perempuan di Indonesia bukan hanya Kartini. Kartini hanya pemicu meletusnya gerakan perempuan, perempuan yang memberikan inspirasi bagi perempuan lain untuk memperjuangkan hak kaumnya. Kartini-kartini Indonesia lahir dengan semangat yang sama. Seabad lebih, Kartini-kartini Indonesia mendefinisikan persoalannya, lalu menyusun agenda untuk digerakkan. Tentu saja demi kepentingan kaum perempuan, dan juga Indonesia.
Mengenang Kartini berarti mengingat kembali perjuangan hak-hak perempuan. Mengingat Kartini, kita akan mengingat pula penindasan terhadap kaum perempuan yang kini masih terjadi. Jadikanlah hari ini, 21 April, sebagai hari untuk memikirkan nasib perempuan. Hari penting untuk membuka memori perjuangan perempuan, melihat nasib perempuan di sekeliling kita, sekaligus merangkai kembali agenda ke depan untuk membela kaum perempuan. Selamat merenung dan bekerja demi perempuan Indonesia!
0 komentar:
Post a Comment