Home » » Profil Sardono W Kusumo

Profil Sardono W Kusumo

Untuk standar Indonesia, Sardono W Kusumo ialah koreografer dan penari luar biasa. Karya-karya yang dihasilkan dari pergulatan pemikirannya menghasilkan decak kagum peminat teater-tari, baik di Indonesia sendiri maupun di Eropa.

Kalau melihat dari pengalaman belajarnya, memang tidak mengherankan. Sejak berusia 8 tahun mempelajari pencak silat. Tiga tahun kemudian belajar menari pada Raden Tumenggung Kusumo Kesowo (dulunya bernama Raden Ngabehi Atmo Kesowo). Menurut guru tari pertamanya ini, seni tari memiliki kelebihan dibanding pencak silat, "Di dunia silat, ada lawan dan musuh, tak pernah ada teman. Sebaliknya, di dalam seni, tak ada kata lawan." Dari Kusumo Kesowo, Sardono belajar tari alusan (halus), karakter lembut dalam lakon Ramayanan dan Mahabarata.

Selanjutnya Sardono belajar kepada master tari Jawa, Raden Ngabehi Wignyo Hambekso. Seorang guru tari yang memiliki referensi banyak tentang gerak tari kuno kraton. Dari Wignyo Hambekso, Sardono mendapat contoh untuk menjadi pribadi eksplosif, kreatif, bebas dari tertib social, dan bebas dari dosa melanggar pakem.

Saat terpilih menjadi anggota Misi Kesenian Pemerintah Republik Indonesia ke New York, Amerika Serikat bersama Bagong Kussudiardja dan Retno Maruti, Sardono berkenalan secara akrab dengan tari kontemporer. Setahun lamanya Sardono di New York memperluas wawasan dan pengalaman. Ia menonton repertoar tari dan teater. Juga mengikuti kelas tari modern di studio Jean Erdman.

Menurut Sal Murgiyanto, Sardono memiliki persyaratan yang diperlukan untuk menjadi seniman professional, yakni :
Pertama, Kemampuan Teknik.
Kedua, Kepekaan Rasa.
Ketiga, Kreativitas.
Keempat, Intelejensi.


Sardono dan Tari Indonesia
Sardono dapat disebut sebagai piƱata tari yang meng-Indonesia. Karakter tari yang dipergunakan di dalam pertunjukannya berasal dari berbagai tarian etnik yang ada di Indonesia. Memang, pada awalnya, karakter tari Jawa mendominasi dalam karya-karyanya. Namun, setelah menjelajah berbagai bentuk tari etnik, ia memadukan keberagaman karakter. Sal Murgiyanto menjelaskan hal tersebut :

Sardono bukan saja memahami apa yang telah terjadi dengan berbagai seni tradisi Indonesia, mengetahui kekuatan dan kelemahannya, tetapi juga mampu membaca wacana seni pertunjukan dunia dengan sama baiknya. Pulang-balik ia mendalami berbagai kekayaan tradisi Indonesia untuk kemudian diolahnya dengan daya inovasi, instuisi, dan intelejensi yang tinggi bagi forum budaya (seni eksperimental) di berbagai penjuru dunia. (halaman 34).

Perlu ditambahkan bahwa walau mempelajari berbagai karakter tari dari berbagai etnik, Sardono tetap menekankan betapa pentingnya "pernyatan pribadi seniman" dalam sebuah karya. Dengan kata lain, Sardono menekankan betapa pentingnya individu dalam sebuah karya seni:
Perjumpaan dengan tari-tarian "primitif" dari berbagai wilayah Indonesia di luar pulau Jawa, membuat Sardono sadar akan perlunya seorang penata-tari memiliki "ungkapan pribadi yang khas" (Sal Murgiyanto; 69).

Dari kalimat, "ungkapan pribadi yang khas" kita dapat mengetahui sejauhmana perbedaan Sardono dengan seniman masa lalu. Sardono sudah memasukkan cara pandang individualisme ke dalam seni tari. Sebelumnya, karya tari tradisi meminimalkan posisi pencipta. Itu sebabnya, banyak karya tradisi yang anonim. Cara pandang yang berdampak besar terhadap peran seni dan penciptanya. Posisi penting komunitas digeser oleh kepentingan individu. Inilah yang kemudian berpengaruh terhadap penonton. Penonton tidak lagi diminta untuk menikmati dan sekadar menerima, melainkan berpikir:

Di dalam banyak karya Sardono, penonton dituntut untuk melihat gerak yang disajikan sebagai proses, seperti halnya pergantian musim dan pertumbuhan tanaman atau kehidupan nyata sekelompok manusia. Realitas lebih penting dari konsepsi. Tidak ada yang statis tetapi semuanya tumbuh dan berganti secara dinamis. (Sal Murgiyanto, 76).


Karya Sardono W Kusumo
Samgita Pancasona (1969; Solo, Jawa Tengah)
Kecak Rina (1972)
Dongeng dari Dirah (1973; Perancis, Belanda, Denmark, Italia, Iran)
Ramayana-Ku (1990; New Delhi, India)
Detik…Detik…Tempo (1994; Jakarta, IDF)
Biography of A Body (1999)
Opera Diponegoro (2002; Surakarta, Jawa Tengah)
Prosesi Kartini (2002; Surakarta, Jawa Tengah)


Kepustakaan
Sal Murgiyanto. 1993. Ketika Cahaya Memudar: Sebuah Kritik Tari. Jakarta: Deviri Ganan.
-----------------, 2000. Kritik Tari: Bekal dan Kemampuan Dasar. Jakarta: MSPI.

0 komentar: