Home » » Patutlah Wartawan Menghormati Wartawan

Patutlah Wartawan Menghormati Wartawan

Rosihan Anwar

Di dunia film Ho- llywood pada pesta penyerahan anugerah Oscar kepada peraih kemenangan di pelbagai bidang juga disampaikan Life Time Achievement Award kepada sutradara dan aktor terbaik. Ditayangkan video singkat berisi cuplikan dari karya dan prestasinya sepanjang kariernya. Dipaparkan riwayat hidupnya selayang pandang lalu dipersilahkan naik ke pentas menerima piala Life Time Achievement Award. Begitu industri film menghormati sesama pelakunya.

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat di bawah Ketua Umum Drs Tarman Azzam juga mulai menyelenggarakan tradisi penganugerahan pada Hari Pers Nasional dan ulang tahun PWI tanggal 9 Februari.

Tahun 2007 PWI menganugerahkan Lifetime Achievement Award kepada dua orang, yaitu DR H Rosihan Anwar dan Herawati Diah.

Alasan kepada saya diberikan anugerah itu karena "berjasa luar biasa bagi dunia kewartawanan Indonesia. Ikut mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia di Surakarta pada 1946 dan hingga kini masih aktif dan konsisten mempertahankan komitmen dalam profesinya".
Tahun 2008 ini, PWI, pada perayaan Hari Pers Nasional di Semarang, memberikan Life Time Achievement Award kepada lima orang, yaitu Jakob Oetama, Dja'far Assegaf, Sabam Siagian, almarhum Atang Roswita, dan almarhum RH Siregar SH. Saya, kendati kesehatan agak terganggu, masih beruntung dapat menyaksikan upacara itu pada 9 Februari malam di halaman Gedung DPRD Jawa Tengah.

Jakob Oetama (76), yang berhalangan hadir, diwakili oleh August Parengkuan. Saya tidak tahu persis apa alasan PWI memberikan anugerah itu kepada Jakob Oetama. Tapi, saya pikir hal itu sudah pada tempatnya benar. Sebab saya beranggapan Jakob Oetama adalah wartawan yang paling besar dan berjaya dewasa ini. Dia masih tetap aktif memimpin Harian Umum Kompas dengan segala kegiatan lain yang menyertainya, seperti, di bidang penerbitan buku. Dengan bekerja dan mengelola berdasarkan asas dan praktek teamwork dia berhasil membina dan mengembangkan Kompas sebagai suatu institusi. Ini adalah sebuah achievement yang tiada taranya. Koran-koran lain yang telah terbit pada awal zaman revolusi mengalami kesulitan berhadapan dengan penguasa, sehingga mereka hilang untuk selama-lamanya akibat ucapan Presiden Soeharto kepada Menpen Mashuri pasca-peristiwa Malari 1974, petani wae (matikan saja). Tapi, Kompas berkat leadership Jakob Oetama, bisa bertahan dan terbit terus sudah 43 tahun. Dan sampai sekarang dia masih menulis tajuk rencana pada saat-saat yang dirasakan perlu. Bukankah itu suatu pertanda seorang wartawan piawai, the man of a good journalist?
Dja'far Assegaf (75), setelah menerima anugerah berpidato di depan malam resepsi HPN 2008. Maksudnya dia akan berbicara atas nama kelima penerima anugerah. Tetapi, kemudian dia lebih banyak bicara tentang dirinya. Saya catat ceritanya dia memulai kariernya bekerja di RRI. Setelah itu dia bekerja pada Harian Indonesia Raya, lalu Harian Abadi kemudian Suara Karya, terus di Kantor Berita Antara. Dan sehabis menjadi dubes di Vietnam tiga tahun terus di Grup Media Indonesia, terus di televisi RCTI.

Berpindah-pindah dari satu koran ke koran lain, Assegaf telah banyak makan garam jurnalistik. Bukankah itu suatu pertanda seorang wartawan yang bergerak lincah selalu mencari dan berhasil menemukan the green pastures alias padang rumput nan hijau, sehingga hidupnya sebagai wartawan bagus dan terjamin adanya?

Matang dan Luwes
Sabam Siagian, sebelum menjadi wartawan Sinar Harapan, telah mempunyai pengalaman bekerja di Perwakilan Indonesia di PBB, sehingga memiliki wawasan yang luas. Setelah Sinar Harapan di-pateni oleh pemerintah Soeharto berdirilah sebagai penggantinya Suara Pembaruan. Sabam mempunyai posisi top di redaksi koran itu. Dia juga menjadi editor harian berbahasa Inggris The Jakarta Post. Dia pernah menjabat Dubes RI di Australia. Kemudian dia tampil sebagai kolomnis di Suara Pembaruan, menyentuh pelbagai topik dan isu yang sedang aktual dan selalu menulis dengan nada konstruktif. Bila kolomnis Christianto Wibisono dalam Suara Pembaruan kadang-kadang memperdengarkan suara the angry young man, saya amati Sabam adalah wartawan senior yang matang dan elegant (luwes).

Almarhum Atang Roswita, yang bertahun-tahun memimpin surat kabar Pikiran Rakyat di Bandung dengan sukses, pernah sebentar menjabat sebagai Ketua Umum PWI Pusat di masa transisi, ketika Harmoko diangkat oleh Soeharto sebagai Menteri Penerangan. Atang dikenal sebagai pengurus PWI Pusat yang telaten ikut merumuskan pasal-pasal Kode Etik Jurnalistik. Sebagai Ketua Dewan Kehormatan PWI dia tertib melaksanakan kode etik terhadap wartawan yang melanggarnya. Di samping itu, dia tidak mengabaikan kerja tulis wartawan, sehingga pada suatu saat dia secara teratur menulis kolom yang kadang-kadang mempersoalkan keagamaan. Bersama teman-temannya di Pikiran Rakyat dia mengkonsolidasi dan membesarkan koran itu sampai berwibawa Jawa Barat.

Atang kerap mengeluarkan kekhawatirannya kepada saya. "Bila saya tidak ada lagi apakah masih dapat dipertahankan semangat dan sikap kebersamaan itu?"
Saya pikir jawaban atas pertanyaan ini harus diberikan oleh generasi kedua yang kini telah mengoper sebagian manajemen Pikiran Rakyat. Sebagai wartawan, Atang Roswita telah mengerjakan tugas dan misinya dengan baik. Saya senang melihat Nyonya Atang naik ke pentas di Semarang menerima Life Time Achievement Award bagi Atang Roswita.

Pengawal Kode Etik
Penghargaan kepada almarhum RH Siregar telah diserahkan tatkala dia meninggal dunia 14 Januari 2008, melalui keluarganya. Siregar adalah pengawal Kode Etik Jurnalistik. Sebagai Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat dan sebagai Wakil Ketua Dewan Pers, dia tidak jemu-jemunya berusaha mensosialisasikan Kode Etik Jurnalistik, sebab dia sadar tidak sedikit wartawan yang tidak serius membaca pasal-pasal kode etik itu. RH Siregar dan Nono Makarim berpendapat bahwa UU Pers No. 40 Tahun 1999 perlu direvisi agar dapat diterima oleh para hakim sebagai lex spesialis. Sampai kini soal ini masih tergantung-gantung dan belum dapat diselesaikan dengan tuntas.

Sebagai Sekretaris Dewan Redaksi Suara Pembaruan, RH Siregar aktif menulis artikel yang berkaitan dengan masalah hukum dalam persentuhannya dengan bidang pers.
Setelah berlangsung upacara penyerahan Life Time Achievement Award kepada kelima wartawan tersebut saya puas, karena telah berlangsung wartawan menghormati wartawan. Kalau bukan wartawan sendiri yang memberikan penghargaan kepada sesama wartawan, siapa lagi?

Selama berlangsung HPN 2008 saya sering mendengar ucapan bahwa wartawan generasi muda sekarang tidak mau masuk PWI. Mereka tidak melihat kegunaannya. Di zaman rezim Soeharto, ketika PWI adalah satu-satunya organisasi kewartawanan, ya bolehlah masuk PWI. Tapi, kini di zaman reformasi hal itu tidak perlu lagi, kata mereka.

Komentar saya hanyalah mereka tidak mengenal sejarah, khususnya sejarah pers dan wartawan Indonesia. Untunglah untuk memperingati HUT ke-62 PWI di Semarang diterbitkan buku berjudul Tanah Air Bahasa Seratus Jejak Pers Indonesia oleh Taufik Rahzen et.al. (penerbit Ibuku, 2007). Saya pikir buku ini perlu dibaca oleh wartawan generasi muda. Patutlah wartawan menghormati wartawan.

Penulis adalah wartawan senior
Last modified: 13/2/08
sumber: suara pembaruan daily

0 komentar: