Home » » Para Sais Pers yang Terangi Tanah Air

Para Sais Pers yang Terangi Tanah Air

Djanalis Djanaid

Pengarang terkemuka Amerika Mark Twain pernah mengemukakan rasa kagumnya atas kekuatan pers. Ia mengatakan, hanya ada dua kekuatan yang dapat memberi penerangan ke semua sudut dunia ini, yakni matahari di langit dan Associated Press (AP) di bumi. AP, seperti diketahui, adalah sebuah kantor berita besar di Amerika Serikat. Dengan wartawannya yang bertugas di berbagai kota negeri itu dan juga negara-negara lain, kantor berita itu dapat mewartakan beragam kejadian di ujung-ujung dunia.

Tetapi, untuk memahami bagaimana peran dan kekuatan pers, tidak perlulah harus bersusah-payah mencari berbagai informasi tentang AP. Ada banyak buku yang membahasnya. Namun, memang, tidak banyak yang memberikan gambaran dan wawasan luas serta mudah dipahami. Buku ini adalah satu di antara sedikit yang dapat memuaskan pembacanya.

Ditulis oleh para penulis yang usianya rata-rata masih di bawah 25 tahun, buku ini seolah ingin mengulang sejarah perjuangan banyak tokoh pers negeri ini yang mengawali profesinya di usia muda. Tokoh pers yang paling terkemuka adalah Tirto Adhi Soerjo, yang meninggal secara tragis setelah memberikan kehidupannya untuk dunia pers dan kemerdekaan bangsanya. Pada usia 22 tahun, Tirto Adhi Soerjo sudah menjadi pemimpin redaksi Pembrita Betawi dan di usia 23 tahun menerbitkan koran nasional pertama, Soenda Berita.

Lewat tulisan-tulisannya Tirto menunjukkan pembelaannya kepada warga pribumi yang tertindas dan menyerang para penguasa sewenang-wenang. Tidak hanya para bupati tetapi juga para pejabat kolonial Belanda. Akibat pandangan dan tindakan-tindakannya itu, perusahaan persnya, NV Medan Prijaji, dipailitkan. Ia pun digugat, disandera, disita semua hartanya, dan bahkan dihukum buang ke Ambon, sebelum akhirnya meninggal di Jakarta. Sederet kata-katanya yang menunjukkan keprihatinan Tirto sebagai jurnalis digunakan penulis sebagai judul tulisan tentang tokoh ini: "…bangsa kita sudah tidak ambil peduli pada bangsanya yang telah jadi setengah atau jadi Belanda."

Penggunaan kutipan sebagai judul untuk melukiskan sebagian besar dari 100 tokoh pers yang terhimpun dalam buku ini memang efektif. Dari judul saja sudah bisa diraba bagaimana kualifikasi, atau setidaknya pandangan tokoh yang ditulis. Untuk melukiskan Dowes Dekker, misalnya, dikutip kata-katanya, "Aku seorang Indo, aku bangsa Indonesia". Penulis juga mengutip pidato Raden Mas Pandji Sosrokartono di Kongres Bahasa Belanda di Ghent, Belgia, pada 1899, untuk menggambarkan tokoh yang pernah menjadi wartawan perang di Eropa pada Perang Dunia I. "…hidupkanlah rasa persaudaraan antara bangsamu dan bangsa yang engkau jajah…"

Penyusunan seratus tokoh pers di buku ini tidak didasarkan pada ranking atau bobot kehebatannya. Ini kiranya langkah yang tepat. Tentu saja para jurnalis yang berjasa pada negeri ini ada ribuan. Namun seratus tokoh di buku ini dapatlah menjadi representasi dari para sais, yang oleh para penulisnya disebut "bekerja sepenuh jiwa di dalamnya dalam mengartikulasikan dan memberi sumbangan kepada bahasa Indonesia dan tanah air dalam membangun citra untuk apa dan dalam posisi apa nasionalisme dibangun dari kurun ke kurun."

Nama-nama yang terhimpun dalam buku ini memang beragam, Mereka mewakili generasi awal abad ke-20, generasi tahun 1940-an, 1960-an hingga sesudahnya. Mereka datang dari berbagai suku dan etnik. Ada Jawa, Sunda, Minang, Batak, Bali, Minahasa, Tionghoa, dan sebagainya. Simak saja nama-nama seperti Ki Hadjar Dewantoro, Soekarno, Mohammad Hatta, Abdurrachman Baswedan, Parada Harahap, Liem Koen Hian, Iwa Koesoemasoemantri, Sutan Takdir Alisjahbana, Ahmad Dahlan, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, Adam Malik, SK Trimurti, Sam Ratulangi, Abdul Azis dan Toety Azis, Ketut Nadha Nugraha, dan Mahbub Djuaedi. Dari generasi berikutnya ada nama-nama seperti Nono Anwar Makarim, Atang Ruswita, Jacob Oetama, Ashadi Siregar. Dahlan Iskan. Erros Djarot, Maria Hartiningsih, Boediono, Sindhunada, Saur Hutabarat, Fuad Muhammad Syafruddin, dan lain-lain, Dimasukkan juga Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Jurnal Pantau.

Dari para tokoh pers yang terhimpun dalam buku ini kita bisa belajar banyak. Kita bisa belajar tentang keberanian dan idealisme, tentang kearifan, keindahan sastra, kepiawaian menulis, hingga kecerdikan dalam berbisnis. Contoh terakhir ini adalah Dahlan Iskan. Berkat kecerdikan dan kerja kerasnya, jurnalis ini sekarang menjadi "Raja Media" dengan Grup Jawa Pos yang memiliki puluhan koran, tabloid, dan majalah, juga beberapa televisi lokal.

Tetapi, apa yang tampaknya digarisbawahi dengan tebal adalah jasa para tokoh tersebut dalam mengembangkan bahasa Indonesia. Contoh yang sangat menonjol adalah Agus Salim, yang menggunakan bahasa Melayu saat berpidato di Volsraad pada 1920-an, bahkan sebelum Sumpah Pemuda 1928. Pimpinan sidang Volksraad waktu itu menegur dan memintanya berpidato dalam bahasa Belanda. "Saya memang pandai berpidato dalam bahasa Belanda, tapi menurut peraturan dewan, saya punya hak untuk mengeluarkan pendapat dalam bahasa Indonesia," katanya.

Benarlah bila dikatakan, para tokoh pers itu adalah mereka yang membangun, memelihara, memberi citra, menaklukkan, sekaligus memberi penghuni pada bahasa Indonesia. (*)

Judul Buku : Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia
Penulis : Taufik Rahzen et.al
Penerbit : I: Boekoe dan The Blora Institute, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : xiv + 460 halaman


Djanalis Djanaid, jurnalis, pengajar FIA Universitas Brawijaya

SUMBER: JAWA POS ONLINE, Minggu, 16 Mar 2008

0 komentar: