Catatan Pertunjukan "Prolog bagi Sebuah Kecemasan"
                  
                  SEORANG gadis memasuki pentas seraya berteriak, "Ibu... ibu... 
                  ibu." Histerisnya berbaur dengan gemericik hujan. Ia mencari 
                  ibunya di hutan plastik. Demikian selintas awal pertunjukan 
                  "Prolog bagi Sebuah Kecemasan" yang disutradarai oleh Adang 
                  Ismet, pada tanggal 25 November 2005 di Gedung Kesenian Dewi 
                  Asri.
                  
Cerita yang diusung pada pementasan ini nonkonversional. Lebih 
                  dekat kepada kronik kehidupan yang diurutkan. Fakta, 
                  imajinasi, dan kecemasan yang hinggap dalam memori-kolektif 
                  ditampilkan sebagai pertunjukan. Tentu saja, disertai dengan 
                  tokoh-tokoh, alur, dan tempo dramatik. Si gadis akhirnya 
                  bertemu dengan ibunya. Keduanya selalu bepergian membawa 
                  buntalan plastik. Kelompok berbaju cokelat bermain, mengganas, 
                  lalu menderita. Pada ujungnya, pelaku-pelaku kekerasan dan 
                  perusakan mengalami penderitaan. Tragedi bagi manusia yang 
                  selalu menurutkan kehausan pada kesenangan.
                  Si gadis dan ibunya bukanlah pahlawan di hutan plastik, 
                  melainkan korban. Mereka hanya segelintir manusia yang 
                  terjebak di antara kecintaan pada alam dan nafsu manusia. 
                  Tidak mampu untuk memberikan perlawanan, hanya bisa bertahan. 
                  Tokoh-tokoh perempuan memang selalu ditafsirkan sebagai 
                  penjaga moral. Misalnya tokoh Dewi Sri dalam cerita kesuburan, 
                  Shinta dalam Ramayana. Kunti dalam Mahabarata, serta Dayang 
                  Sumbi dalam Sangkuriang. Mitos itu sebagai pusat kehidupan 
                  terus-menerus diproduksi sebagai pasal yang sahih.
                  Lima pemain berbaju cokelat (Hermana, Asep Budiman, Fajar, 
                  Diki, Ari Fahrudin) ialah wujud orang-orang yang melayani 
                  nafsunya. Massa yang tidak memiliki karakter pasti, kerap 
                  berubah, serakah pada harapan. Ketika alam masih ranum mereka 
                  ikut segar dalam kebebasan. Sebaliknya, ketika alam menjadi 
                  keras, mereka pun menjadi beringas. Merekalah yang merusak 
                  alam dan membangkitkan kerusuhan sosial.
                  Enam penari berbaju merah (Dian Anggraeni, Dadan Dasmin, Devi, 
                  Tatat Rukmiati, Yanuar, Iim Imas) ialah simbol dari hawa nafsu 
                  manusia. Laiknya nafsu manusia mereka naik-turun dalam 
                  bersikap: terkadang baik, terkadang buruk. Perilaku mereka 
                  tergantung pada kejadian yang berlangsung. Koreografi yang 
                  digarap oleh Ria Dewi Fajaria lebih cocok untuk pementasan di 
                  pentas prosenium bukan di pentas tapal kuda. Penari-penari 
                  lebih banyak menghadap ke penonton yang berada di tengah, 
                  penonton yang di samping kiri dan kanan tidak diperhatikan.
                  Musik garapan Ismet Ruhiyat sangat pas di setiap adegan. Musik 
                  yang dimainkan terdiri dari tembang macapat, lagu dansa, dan 
                  musik new age. lagu-lagu itu hadir tidak mengaburkan tiap 
                  adegan. Bahkan memperkuat aura pertunjukan.
                  Area pementasan dijejali plastik, yang menjulur dari atap 
                  hingga lantai. Area pentas (desain Nandang Gawe) seperti 
                  akuarium plastik, sudut-sudut dibuat tegas hingga terasa 
                  mengurung. Akuarium yang menggambarkan bayang-bayang dari 
                  realitas. Pentas memang terasa sesak oleh terpaan cahaya, 
                  gerak pemain-penari, dan terjangan musik. Menggambarkan betapa 
                  sesaknya hidup orang-orang modern.
                  Peristiwa bersama dan dunia bayang-bayang
                  Pertunjukan ini menghadirkan musik, teater, tari, dan seni 
                  rupa dalam satu pentas. Semua unsur seni itu berusaha 
                  menampilkan diri, berusaha merebut perhatian penonton. Ciri 
                  khas dari cara pikir RWD (ruang-waktu-datar; konsep Primadi 
                  Tabrani) yang meniadakan titik fokus. Sebut saja multifragmen: 
                  setiap unsur memiliki hak tersendiri untuk tampil, setiap 
                  unsur sama pentingnya. Penonton dibebaskan untuk memilih apa 
                  yang ingin ditontonnya.
                  Pertunjukan ini juga membangun interaksi dengan penonton. 
                  Penonton diperbolehkan masuk ke area pentas dan terlibat 
                  (berdansa), dan pemain memasuki area penonton (membagi gelang 
                  merah-putih). Penonton dan pelaku bersama-sama merayakan 
                  peristiwa pertunjukan. Pertunjukan ini menerobos batas antara 
                  pemain pertunjukan dan penonton, seperti yang sering 
                  disaksikan dalam teater rakyat.
                  Pertunjukan ini meminimalkan dialog, mengandalkan pada bahasa 
                  kinetik, warna, dan bunyi. Penonton harus mengandalkan indera 
                  penglihatan dan pendengarannya untuk mengetahui cerita yang 
                  disampaikan. Kata yang terucap hanya "ibu", "lambai", dan 
                  "lapar". Peran dialog dialihkan pada interaksi antara pemain, 
                  penari, pemusik.
                  Pemakaian konsep dunia bayang-bayang kerap digunakan Adang 
                  Ismet dalam pertunjukan yang digarapnya, misalnya pada monolog 
                  Ingin Ku Congkel Matamu (tafsir atas cerita Kucing-nya Edgar 
                  Allan Poe, 2004) dan pertunjukan Biografi Sebuah Mimpi (tafsir 
                  atas Anak Bajang Menggiring Angin-nya Sindhunata, 2005). 
                  Konsep yang dapat dihubungkan berasal dari kelir Wayang Kulit, 
                  di mana bayang-bayang diberatkan sebagai realitas yang 
                  dipadatkan dalam satu peristiwa. Dunia bayang-bayang (baca: 
                  akuarium) muncul sebagai jagat kecil yang mempertemukan masa 
                  lalu, masa kini, dan masa depan; wadah refleksi atas 
                  perjumpaan realitas, harapan, dan pedoman perilaku. Memiliki 
                  dunia bayang-bayang berguna untuk merangkai ulang etika saat 
                  berhadapan dengan masa kini dan masa depan.
                  Pemakaian tapel (topeng) oleh pemain menarik dicermati. Teater 
                  rakyat kerap memakai tapel untuk menegaskan karakter dan 
                  identitas. Lima pemain yang dihias wajahnya bukan untuk 
                  menegaskan identitas, melainkan untuk mengaburkan karakter.
                  Orang cemas, ekolog, seni                  Memang, manusia modern merupakan manusia paling cemas dalam 
                  sejarah kehidupan manusia. Cemas akan ledakan penduduk, 
                  pemanasan global, flu burung HIV/AIDS, Ebola, dan perang 
                  nuklir. Kecemasan yang melebihi kecemasan yang pernah ada di 
                  abad-abad terdahulu. Tak heran bila kemudian terbentuk Green 
                  Peace, Partai Hijau, WHO, Palang Merah, dan Kementerian 
                  Lingkungan Hidup.
                
  Kasus di Indonesia sendiri, kecemasan ditambah dengan 
                  kerusuhan masal serta pemboman di ruang publik. Bom dan 
                  kerusuhan masal menghantui setiap orang di mana pun dan kapan 
                  pun. Kecemasan yang menumpuk sedikit demi sedikit hingga 
                  mengusik ketenangan moral manusia. Moral dipertaruhkan: yang 
                  baik dan yang buruk ditinjau kembali. Adalah peran kesenian 
                  untuk menjaga kembali moral manusia, di samping peran yang 
                  dimiliki oleh agama. Kesenian menjadi jalan damai untuk 
                  membangkitkan kembali moral manusia yang tenggelam dalam 
                  kekerasan. Cendekiawan Mukti Ali pernah berpetuah, "Dengan 
                  ilmu kehidupan menjadi enak, dengan seni kehidupan menjadi 
                  halus, dan dengan agama hidup menjadi terarah dan bermakna."
                  Tentu saja, berksenian, di Indonesia bukan perkara sepele. Di 
                  negeri berpenduduk 250 juta jiwa ini, seniman diharapkan 
                  mengambil peran aktif dalam transformasi sosial. Seniman yang 
                  bersedia mengambil posisi sebagai guru, sekaligus pendamping 
                  dan penyokong, pemberdayaan masyarakat. Seniman yang tidak 
                  sekadar berkarya, tetapi juga mengajukan pesan-pesan moral 
                  pada apresiatornya untuk peduli pada alam dan manusia di 
                  sekelilingnya.
                  Hingga kini, kesenian (baca: seni pertunjukan) kita lebih 
                  banyak berkutat di antara wacana manusia-komunitas, 
                  komunitas-negara, dan manusia-agama. Titik fokusnya pada isu 
                  alienasi orang kota, ketidakadilan ekonomi dan sosial, serta 
                  problem hak asasi manusia. Sedangkan wacana manusia-alam 
                  jarang sekali dibicarakan. Memang, Sardono W. Kusumo pernah 
                  menggarap pertunjukan Meta Ekologi (1979), namun tidak 
                  menyebar luas. Hanya segelintir seniman yang mau menggarap 
                  wacana manusia-alam. Padahal, isu lingkungan hidup bukan lagi 
                  sebatas perusakan hutan tropis, pemanasan global, kemusnahan 
                  spesies hewan, dan efek rumah kaca, melainkan sudah merambah 
                  pada isu rekayasa genetika.
                  Tantangan terbesar seniman yakni bagaimana menciptakan karya 
                  seni, menyusun agenda, dan mengajukan wacana yang "naturalis, 
                  holistik, dan humanis" (kriteria sejarawan Sartono 
                  Kartodirdjo) pada publiknya. Tentu saja demi menjaga 
                  keseimbangan kosmik: antara manusia dengan manusia, manusia 
                  dengan alam.***
Home »
 » Akuarium Sampah, Orang Cemas dan Hutan Plastik

0 komentar:
Post a Comment