Milis Jurnalisme sempat ramai dengan pembicaraan wartawan bobrek, pelacuran wartawan, wartawan preman, dan sebagainya. ada yang bela idealisme wartawan, ada pula yang mendukung amplop untuk wartawan (walau dengan pernyataan malu-malu).
Yang muncul di benak, apakah para jurnalis yang menolak "budaya amplop" karena mereka sendiri sudah mapan? Misalnya sudah dapat gaji (plus bonus) yang baik dari perusahaannya bekerja, atw sudah emang dari bayinya sudah mapan.
Pertanyaan ini muncul sebab kalau melihat di lapangan, maksudnya kehidupan wartawan media kelas teri, sangat menyedihkan. ada koran yang tidak bisa memberi wartawannya penghasilan yang layak. uang yang diperolehnya masih di bawah UMR. Bayangkan saja, saban hari harus setor berita, tapi upah keringatnya tak sebanding. Ada pula koran/majalah yang meminta wartawannya turut serta menjual koran. ya tentu saja demi penghasilan.
Emang ini berhubungan dengan idealisme pers, masalah perut dan profesi wartawan. Yang harus tetap diingat, wartawan juga manusia. Mereka bukan robot. Intinya, harus ada solusi antara masalah perut dan masalah idealisme.
by the way, saya paling tak suka dengan wartawan preman. alias wartawan yang maksa minta duit, apakah dengan alasan berita bagus atau untuk iklan.
Home »
» Wartawan Amplop dan Wartawan Preman
0 komentar:
Post a Comment