Home » » Taufiq Sutan Makmur: Suara Keramat dan Orang Urban

Taufiq Sutan Makmur: Suara Keramat dan Orang Urban

Oleh ARAHMAN ALI

DI harian SINDO edisi Minggu (16/9/2007) ada cerita pendek Taufiq Sutan Makmur berjudul “Suara-suara Keramat”. Ini cerpen pertama TSM yang saya baca. Cerpen ini jelas menunjukkan bagaimana kehidupan orang-orang urban di Jakarta pada masa Ramadhan. Di sini ditunjukkan bagaimana orang urban (setengah kota, setengah kampung) menjalani hidupnya sehari-hari. Pagi hari memburu waktu pergi kerja, siang hari suntuk dengan kerja di pusat kota, malam hari kembali ke pinggiran. Itu dijalaninya saban hari. Tanpa ujung, demi menyambung hidup.

Saya menduga, Taufiq Sutan Makmur sendiri orang urban. Masa kecilnya di kampung dipenuhi dengan ramadhan yang riuh. Sudah mengalami pengalaman yang indah dengan ayat-ayat keramat, dan keriangan menyambung ramadhan. Masa dewasanya dilakoni di kota besar, dalam hal ini Jakarta, yang tak riang dan heterogen.

DALAM cerpen ini ada tokoh Anggoro. Seperti orang kota kebanyakan kerap berganti-ganti kontrakan. Warga nomaden. Suatu ketika tinggal di perumahan yang ada di pinggiran kota. Rumah ideal baginya. Tetangga yang ramah dan lingkungan lestari.

Masalah muncul ketika masuk bulan Ramadhan. Perumahan yang ramah itu mendadak ramai. Saban malam, suara-suara muncul dari pelbagai penjuru. Suara orang tadarus, suara pemuda-pemudi kampung, salawat, suara panggilan sahur. Kesunyian malam yang selama ini menjadi kenyamanan pecah oleh suara-suara spesial Ramadhan.

Awalnya ia ingin protes pada orang yang memecahkan kesunyian malam tersebut. Namun, ia semakin pasrah. Tak berdaya menghadapi tradisi, hanya bisa menerima. Ia pasrah sebagaimana menerima nasibnya sebagai sekrup ibukota. Hanya bisa menerima, tanpa perlawanan.

TOKOH Anggoro ialah cermin orang urban di kota-kota besar. Terasing dari lingkungannya sendiri. Terasing dari interaksi interpesonal. Terasing dari dirinya sendiri. Orang seperti Anggoro lebih membutuhkan ketenangan, kenyamanan, kesejukan. Yang dibutuhkannya ialah anti-tesis dari kehidupan kota besar. Baginya, kota besar hanyalah tempat meraup uang. Sebanyak-banyaknya, serta secepat mungkin. Dinamika kota seperti Jakarta tak ramah bagi orang seperti Anggoro. Selalu bergerak cepat, mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok, manusia diukur berdasarkan status. Sosok Anggoro, ialah sosok manusia urban yang selalu gelisah dengan hidupnya dan lingkungannya. Sosok yang terjebak pada geokultural perkotaan.

Sekadar informasi, Taufiq Sutan Makmur (Taufiqqurahman) dilahirkan di Padang, 28 Februari 1975. Kini tinggal di Ciracas Jakarta Timur.


ARAHMAN ALI, pekerja budaya. Tinggal di Bandung.

1 komentar:

Anonymous said...

Assalamualaikum Arahman Ali, Saya Taufiq Sutan Makmur. senang anda mengomentari cerpen saya yang diterbitkan Sindo, ada sebuah sudut pandang yang saya dapatkan dari komentar anda yang sama sekali tidak terpikirkan oleh saya waktu menulis cerpen itu.
Salam kenal kawan, terimakasih.
kalau ada waktu anda bisa mengunjungi saya di www.elcatra.blogspot.com