Home » » Teguh Winarsho AS: Aku versus Ayah

Teguh Winarsho AS: Aku versus Ayah

Teguh Winarsho AS: Aku versus Ayah

Di suplemen Khazanah Pikiran Rakyat edisi 15 September 2007 ada cerita pendek berjudul “Ramadan Ayah” karya Teguh Winarsho AS. Setelah lama tak membaca cerpen atau pun novel, jadi tertarik untuk membacanya sampai tuntas. Dari paragraf pertama hingga terakhir dipelototi. Ya, sekadar untuk mengetahui ending cerita. Soalnya ingat kata HB Jassin, “kalau ingin baca cerita pendek dengan cepat bacalah dari bawah, kemudian ke atas.” Walau ingat ucapan tersebut, saya membaca seenaknya, dari tengah ke atas, kemudian turun ke ending.

Dari hasil membaca cerpen ini, ada beberapa hal yang saya tangkap. Pertama, pencitraan Ayah yang buruk laku versus ibu yang baik hati. Sosok Ayah ditampilkan ialah penggemar kartu ceki, suka alkohol (plus mabuk), suka meludah dan mendengus. Jika marah mengeluarkan kata-kata jorok. Suka main perempuan, suka main judi, Ciri-ciri buruk diterakan padanya. Apa yang dilakukannya selama Ramadan bertolak belakang dengan penduduk sekampung, yang semakin banyak menghabiskan waktunya di masjid. Di sisi lain, sang ibu digambarkan sebagai “kesejukan embun di pagi hari.” Disertai dengan “tatapan menentramkan hati”, “menyegarkan kekeringan jiwa”, dan
“laksana batu karang yang berdiri kokoh di tengah empasan gelombang.” Jika dimarahi ayah, ibu hanya tertunduk diam dan menangis sesunggukan. Walau si ibu kena bentak dan ditampar. Si Ibu ditampilkan sebagai ibu ideal yang serba baik. Sifat keibuan khas orang Timur.

Kedua, saya tidak tahu sejauh mana pengaruh meninggalnya ibu terhadap perilaku si ayah. Setelah si ibu meninggal, si ayah tetap pada kebiasaan buruknya. Ajakan sang aku untuk bertingkah baik, tak dihiraukannya. Kemudian yang menjadi pertanyaan apa sebabnya sang ayah ingin bertobat tiba-tiba? Apakah karena si ibu meninggal, atau karena ucapan sang anak, si aku? Ini hanya karena kurang detil saja mengungkapkan cerita, atau memang sudah ada detailnya namun tak tertuang. Di sisi lain, ucapan-ucapan tokoh-tokoh cerita sesuai dengan karakter orang kampung. Dialog-dialog tak sok intelek seperti dialog tokoh dalam cerita Iwan Simatupang.

Ketiga, ending yang menarik. Bukan karena endingnya yang saya suka, tapi sebab kematian si Ayah. Si Ayah tewas ketabrak saat mau pergi shalat subuh.

Senang juga membaca cerpen ini, ada hal baru yang saya tangkap: JANGAN MENDUGA PERILAKU ORANG DARI MASA LALUNYA. Manusia bisa berubah kapan saja, dengan alasan apa saja, dan di mana saja.


Arahman Ali, komentator budaya. Tinggal di Bandung
dewa01api@gmail.com
dewa-api.blogspot.com

0 komentar: