Home » » Musik di Koran

Musik di Koran

Oleh ARAHMAN ALI

Reportase musik di koran dan majalah sangat jarang, apalagi tulisan kritik musik. Musik, mungkin, dianggap sebagai hal yang tidak menarik untuk ditulis. Padahal penikmat, pengamat dan peneliti lumayan banyak. Kelihatannya, koran dan majalah tidak begitu tertarik dengan musik “serius” pada keindahan suara kecapi dan kerumitan lagu Slamet Abdul Syukur. Koran dan majalah lebih tertarik pada musik yang lagi tren seperti pop, rock, rap, jazz dan saudara-saudaranya.

Penelitian yang dilakukan untuk musik Indonesia cukup banyak, terutama untuk musik tradisional, musik rakyat dan dangdut. Hasil penelitian hanya tersebar di kalangan terbatas, melalui seminar, jurnal terbatas, dan pembicaraan antar ahli musik. Jarang sekali merambah publik yang lebih luas.

Pengamat musik yang intens pun masih sedikit. Yang dikenal publik hanya beberapa nama seperti Slamet Abdul Syukur, Suka Hardjana, Franki Raden, Rahayu Supanggah, Rizaldi Siagian dan Dieter Mack. Yang lainnya masih berkubang dalam kesenangan mengulik suara-suara indah.


Tulisan tentang Musik di Media Cetak: Tiga Sampel
Tiga tulisan dipakai sebagai sampel untuk melihat bagaimana musik, sebagai seni pertunjukan, dilaporkan melalui media cetak. Pertama, reportase yang ditulis oleh Ahda Imran, Duo Tuba dan Piano di CCF Bandung: Eksplorasi Imajinasi Musikal (2003, Pikiran Rakyat). Dan yang kedua, tulisan Pandi Upandi berjudul Memanfaatkan “Rangkas” untuk Kreativitas: Dodong, Pembuat “Waditra” Unik (2005, Pikiran Rakyat). Dan terakhir, tulisan Arif Firmansyah, Musik Klasik Renyah Rasa The Jakarta Brass (2003, Koran Tempo).

Tulisan Ahda Imran lebih menekankan pada pertunjukan musiknya. Dia mengungkapkan bagaimana David Zambon (tuba) dan Patrick Zygmanowski (piano) memainkan 10 repertoar musik klasik. Termasuk juga bagaimana kemampuan kedua musisi ini dalam memadukan antara tuba dan piano. Tekanan tulisan ini pada keunikan konser musik klasik yang menggunakan alat musik tuba dan piano. Sebab jarang sekali konser musik klasik yang memakai tuba dan piano. Biasanya memadukan bunyi piano dan biola, atau piano dan cello.

Dalam tulisan Pandi Upandi hal sama juga berlaku, lebih suka mengungkapkan keunikan waditra yang diciptakan oleh Dodong. Dodong telah menciptakan waditra (alat musik) baru sebanyak 50 buah. Beberap waditra yang telah diberi nama antara lain dugper, honga, kitari, potdram, midlephone, perpuh, perdijiridu, water marakas, tulila, sulingdong, dan legus. Tulisan ini tidak membahas bagaimana kemampuan Dodong sebagai nayaga, melainkan menonjolkan Dodong sebagai pencipta waditra baru.

Sedang dalam tulisan Arif Firmansyah, pertunjukan The Jakarta Brass diungkap dari berbagai segi. Dari keunikan pertunjukan, sejarah kelompok, biografi individu, alat musik hingga bagaimana pertunjukan berlangsung.



Kritik Musik di Media Cetak
Kritik pertunjukan musik di media cetak sangat langka. Lebih banyak reportase pertunjukan atau biografi kelompok. Memang pernah berlangsung perdebatan tentang musik yang dilakukan oleh Dieter Mack dengan Nanang Krisdinanto tahun 1993 di Surabaya Post (Dieter Mack, 2001). Namun, polemik seperti ini sangat jarang terjadi.

Yang paling banyak tertmuat di media cetak malah musik popular atau musik komersil. Yang kemudian berakibat pada persepsi masyarakat: musik komersil dijadikan standar perkembangan musik Indonesia. Dan pertunjukan musik komersil dijadikan patokan utama untuk pertunjukan musik lainnya.

Musik di Koran: Langkah ke Depan
Alangkah menariknya jika tulisan tentang pertunjukan musik meramaikan koran dan majalah di Indonesia. Impian ini akan terwujud bila pengamat dan peneliti pertunjukan musik berkemauan dan rajin mempublikasikan karyanya ke koran dan majalah. Langkah seperti ini, setidaknya memberi pemahaman yang lebih baik kepada apresiator musik tentang bagaimana sebuah pertunjukan musik berlangsung, serta bagaimana makna dibalik sebuah pertunjukan. Dan tulisan musik bukan lagi sekadar biografi kelompok musik, tangga lagu dan daftar album.

Jika dibandingkan dengan teori seni pertunjukan dan pertunjukan yang dipelajari di perkuliahan, jauh sekali antara apa yang dipahami di bangku kuliah dengan reportase musik yang hadir di koran. Tulisan di koran seolah (atau mungkin) tidak tahu menahu tentang kajian pertunjukan. Yang ditulis hanya realitas pancaindra, hanya yang terlihat dan terdengar. Belum sampai ke realitas imajinatif. Di celah inilah peluang bagi sarjana pertunjukan untuk memberi sumbangsih pengetahuan, tentu saja demi perkembangan seni pertunjukan dan musik di Indonesia.

Bandung, Mei-Juni 2006


Kepustakaan
Dieter Mack. 2001. Pendidikan Musik: Antara Harapan dan Realitas. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Mona Lohanda. 1991. Dangdut: Sebuah Pencarian Identitas dalam Masyarakat Indonesia: Bunga Rampai (ed. Edi Sedyawati dan Sapardi Djoko Damono, 1991, Gramedia Pustaka Utama), halaman 137-1143.

Remy Silado. 1991. Musik Pop Indonesia: Suatu Kekebalan Sang Mengapa dalam Seni dalam Masyarakat Indonesia: Bunga Rampai (ed. Edi Sedyawati dan Sapardi Djoko Damono, 1991, Gramedia Pustaka Utama), halaman 144-159.

Tulisan Koran
Ahda Imran. Duo Tuba dan Piano di CCF Bandung: Eksplorasi Imajinasi Musikal. Pikiran Rakyat, 9 Februari 2003.

Arif Firmansyah. Musik Klasik Renyah Rasa The Jakarta Brass. Koran Tempo, 7 Juli 2003.

Pandi Upandi. Memanfaatkan “Rangkas” untuk Kreativitas: Dodong, Pembuat “Waditra” Unik. Pikiran Rakyat, 4 Juni 2005.

0 komentar: